BANDUNG, SUAR MAHASISWA AWARDS — Survivor’s guilt di kalangan penerima LPDP menjadi fenomena psikologis yang jarang dibicarakan namun nyata dirasakan. Di balik euforia menerima beasiswa prestisius ini, sebagian awardee justru terjebak dalam perasaan bersalah. Mereka merasa tak layak dibandingkan teman seperjuangan yang gagal.
Banyak penerima LPDP yang mengalami dilema batin setelah berhasil lolos seleksi yang ketat dan melelahkan. Rasa syukur kerap bercampur dengan tekanan mental, terutama saat mengingat kawan seperjuangan yang tak seberuntung mereka. Studi menunjukkan, ini bisa memengaruhi performa akademik hingga kesehatan mental penerima.
Fenomena ini tidak hanya terjadi secara individu, tapi juga membentuk pola kolektif dalam komunitas awardee. Dalam beberapa kasus, survivor’s guilt menyebabkan distorsi dalam hubungan sosial dan profesional. Oleh karena itu, penting untuk menggali lebih dalam aspek psikologis dari beasiswa LPDP yang kerap luput dari perhatian publik.
Tekanan Psikologis di Balik Prestasi
Seleksi LPDP dikenal sangat kompetitif dan menguras energi mental peserta. Setelah dinyatakan lolos, euforia sering kali berganti dengan tekanan eksistensial. Penerima merasa dibebani tanggung jawab moral yang berat.
Survivor’s guilt muncul saat awardee merasa tak lebih pintar atau layak dibanding teman-temannya yang gagal. Mereka merasa “beruntung”, bukan karena kompeten, dan ini menurunkan kepercayaan diri. Perasaan ini diperparah jika mereka berasal dari komunitas sosial atau ekonomi tertinggal.
Sebuah studi oleh Hendin & Haas (1991) menunjukkan bahwa survivor’s guilt kerap dialami oleh individu yang selamat dari bencana atau trauma kolektif. Meski konteks LPDP berbeda, tekanan mental akibat sistem seleksi dan ekspektasi sosial bisa memunculkan efek serupa. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan psikologis dalam mendampingi awardee selama masa studi.
Survivor’s Guilt dan Dinamika Sosial Awardee
Setelah diterima LPDP, penerima beasiswa otomatis menjadi bagian dari komunitas elit akademik. Namun, bukan berarti mereka bebas dari tekanan sosial. Justru banyak yang merasa terasing secara emosional.
Interaksi dengan rekan yang gagal atau sesama awardee yang lebih unggul sering memicu perasaan inferioritas. Beberapa bahkan memilih menjaga jarak dari lingkaran lama karena malu atau takut dicap sombong. Padahal, keterhubungan sosial justru penting untuk menjaga stabilitas mental selama studi.
Survivor’s guilt juga bisa mengganggu hubungan profesional ketika awardee merasa bersalah atas peluang yang mereka terima. Menurut jurnal Journal of Traumatic Stress (Niederland, 1981), survivor’s guilt dapat berdampak pada pengambilan keputusan dan motivasi jangka panjang. Tanpa pendampingan, hal ini bisa berdampak pada performa akademik dan karier setelah studi.
Urgensi Dukungan Mental dalam Program Beasiswa
Mengingat kompleksitas emosi yang dialami awardee, sudah saatnya LPDP mempertimbangkan layanan psikologis sebagai bagian integral program. Bukan hanya sesi orientasi teknis, tapi juga dukungan emosional secara berkala. Langkah ini penting untuk membentuk alumni yang tidak hanya cerdas, tapi juga sehat mental.
Program mentoring berbasis pengalaman senior-awardee bisa menjadi solusi awal untuk memutus siklus survivor’s guilt. Sharing pengalaman dan kegagalan justru membentuk empati dan solidaritas di antara awardee. Ini juga memperkuat jaringan sosial yang sehat dan saling mendukung.
Penelitian oleh American Psychological Association (APA) menekankan bahwa survivor’s guilt yang tidak diatasi dapat berkembang menjadi depresi atau gangguan kecemasan. Dengan memahami realitas ini, lembaga penyedia beasiswa perlu bertransformasi menjadi ruang aman bagi tumbuh kembang mental awardee. Karena pada akhirnya, kualitas SDM unggul bukan hanya soal otak, tapi juga hati yang terjaga.
Penulis:
Fathan Muslimin Alhaq