Menjaga Nyala Lilin Kebebasan Pers di Tengah Ancaman
Menjaga Nyala Lilin Kebebasan Pers di Tengah Ancaman

Menjaga Nyala Lilin Kebebasan Pers di Tengah Ancaman

Opini
3 Mei 2025

CIREBON, SUAR MAHASISWA — Setiap tanggal 3 Mei, dunia memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia sebagai bentuk penghormatan terhadap hak fundamental jurnalis untuk menyampaikan informasi tanpa tekanan dan intimidasi. Di tengah semarak peringatan ini, Indonesia kembali dihadapkan pada realita getir: masih adanya upaya pembungkaman terhadap pers. Salah satu contoh nyata dan mengusik rasa keadilan adalah kejadian pengiriman kepala babi ke kantor redaksi Tempo—sebuah tindakan yang bukan hanya menjijikkan secara moral, tetapi juga mengandung simbolisme ancaman yang tidak bisa dianggap remeh.

Pers memiliki peran vital dalam sistem demokrasi: sebagai pengawas kekuasaan, penyampai kebenaran, dan jembatan informasi antara pemerintah dan rakyat. Namun, peran ini seringkali menjadikan jurnalis dan institusi media sebagai target serangan dari mereka yang merasa terancam oleh keberanian mereka menyingkap fakta. Peristiwa yang menimpa Tempo memperjelas bahwa intimidasi terhadap pers belum sepenuhnya sirna dari lanskap demokrasi kita.

Tempo dan Jejak Jurnalismenya

Tempo bukan pemain baru dalam dunia jurnalisme investigatif. Sejak era Orde Baru, media ini dikenal sebagai simbol keberanian, konsistensi, dan integritas dalam meliput isu-isu sensitif—mulai dari korupsi, pelanggaran HAM, hingga penyalahgunaan kekuasaan. Dalam banyak kasus, laporan Tempo telah mengguncang status quo, membongkar kebusukan yang tersembunyi rapat di balik institusi-institusi negara maupun swasta.

Namun keberanian ini pun datang dengan risiko. Pengiriman kepala babi ke kantor redaksi adalah salah satu bentuk serangan yang bertujuan menciptakan rasa takut. Kepala babi secara simbolik sering dikaitkan dengan penghinaan, peringatan, atau bahkan teror yang bermuatan rasial maupun kekerasan. Di banyak budaya, termasuk dalam konteks kriminal internasional, simbol ini kerap digunakan untuk menyampaikan pesan: “berhenti atau hadapi konsekuensinya.”

Menelusuri Akar Intimidasi

Tindakan seperti ini tidak boleh dilihat sebagai insiden tunggal. Ia adalah bagian dari pola yang lebih besar: meningkatnya intoleransi terhadap suara-suara kritis dan maraknya kultur anti-kebebasan berpendapat di ruang publik. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah jurnalis di Indonesia mengalami intimidasi, serangan siber, hingga kekerasan fisik saat menjalankan tugas jurnalistiknya.

Kondisi ini mengindikasikan bahwa perlindungan terhadap jurnalis masih jauh dari ideal. Padahal, Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan memiliki konstitusi yang secara jelas menjamin kebebasan pers. Pasal 28F UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, serta menyampaikan pendapat melalui berbagai saluran, termasuk media massa. Ketika jurnalis diintimidasi, maka bukan hanya mereka yang diserang—tetapi juga hak publik untuk mengetahui kebenaran.

Pemerintah Harus Tegas

Menanggapi fenomena ini, pemerintah tidak bisa bersikap setengah hati. Harus ada penyelidikan serius terhadap pelaku dan motif di balik pengiriman kepala babi ke kantor Tempo. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden buruk yang membuka jalan bagi bentuk-bentuk intimidasi lainnya terhadap media.

Kepolisian perlu transparan dan cepat dalam menangani kasus ini. Tidak cukup hanya dengan mengecam, tetapi harus ada tindakan hukum nyata. Selain itu, negara juga harus memperkuat sistem perlindungan bagi jurnalis, termasuk penguatan Dewan Pers sebagai lembaga yang mengawal etik dan independensi media.

Peran Masyarakat Sipil & Solidaritas

Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menjaga kebebasan pers. Dukungan publik yang kuat terhadap media yang independen akan menciptakan ekosistem informasi yang sehat. Masyarakat harus menyadari bahwa membela jurnalis bukan berarti berpihak pada media tertentu, tetapi berpihak pada hak untuk tahu dan pada nilai-nilai demokrasi.

Kejadian yang menimpa Tempo harus menjadi panggilan solidaritas bagi seluruh insan pers, aktivis, dan warga sipil untuk bersatu melawan budaya pembungkaman. Ketika satu media diserang, itu adalah serangan terhadap semua yang memperjuangkan keterbukaan dan kebenaran.

Memaknai Hari Kebebasan Pers

Hari Kebebasan Pers Sedunia tidak boleh hanya menjadi perayaan simbolik. Ia harus menjadi momentum reflektif sekaligus aksi nyata untuk memperkuat posisi pers dalam tatanan masyarakat. Ini adalah momen untuk bertanya: apakah kita benar-benar telah melindungi mereka yang berdiri di garis depan dalam menyuarakan kebenaran?

Kebebasan pers bukanlah kemewahan yang bisa dinikmati sesekali. Ia adalah hak mendasar yang perlu dijaga setiap hari, terutama saat ia terancam. Dalam dunia yang semakin sarat hoaks dan manipulasi informasi, jurnalisme yang bebas dan bertanggung jawab adalah cahaya penuntun bagi masyarakat yang ingin tetap waras.

Penutup

Pengiriman kepala babi ke kantor Tempo adalah alarm keras yang tidak boleh diabaikan. Ini bukan hanya soal satu media, melainkan tentang masa depan kebebasan berekspresi dan hak publik untuk mendapat informasi yang jujur. Pada Hari Kebebasan Pers Sedunia ini, mari kita pertegas kembali komitmen: bahwa intimidasi tidak akan membungkam kebenaran, dan bahwa pers yang bebas adalah fondasi demokrasi yang sehat.

 

Penulis: Muhamad Hijar Ardiansah, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon 

0 Suka

7
Bagikan

Artikel Terkait 

3d-rendering-team-work_23-2151911555
1
flat-design-bullying-concept-with-characters_23-2148715155