Melawan Sistem Yang Tak Tidur : Tugas Baru Generasi Muda
Melawan Sistem Yang Tak Tidur : Tugas Baru Generasi Muda

Melawan Sistem Yang Tak Tidur : Tugas Baru Generasi Muda

Teknologi
10 Juli 2025

BANDUNG, SUAR MAHASISWA AWARDS — Bayangkan sebuah perusahaan masa depan. Di ruang kantor yang penuh layar dan sensor, tidak ada resepsionis yang menyambut, tidak ada staf admin yang mencatat jadwal, dan tidak ada desainer yang menggambar secara manual. Semua proses dikerjakan oleh sistem otomatis, perangkat lunak pintar, dan kecerdasan buatan (AI). Dunia kerja seperti itu bukan lagi sekadar adegan film fiksi ilmiah dan sedang terjadi secara nyata, perlahan namun pasti. Pertanyaannya: apakah mahasiswa hari ini benar-benar siap menghadapi masa depan seperti itu?

Teknologi Tak Lagi Sekadar Penolong

Dalam beberapa dekade terakhir, teknologi berkembang pesat dan menyentuh hampir semua aspek kehidupan. Di Indonesia, laporan Digital 2024 oleh We Are Social dan Meltwater menunjukkan bahwa penduduk menghabiskan rata-rata lebih dari 7 jam per hari di internet. Angka tersebut tidak hanya mencerminkan ketergantungan masyarakat terhadap teknologi, tapi juga mengindikasikan betapa dominannya sistem digital dalam menunjang aktivitas sehari-hari termasuk dalam pendidikan dan dunia kerja.

AI kini bukan hanya membantu, tapi mengambil alih pekerjaan. Mulai dari penulisan berita otomatis, sistem rekomendasi, algoritma prediksi perilaku konsumen, hingga robot pelayanan pelanggan. Bahkan dalam dunia medis, teknologi sudah dapat mendiagnosis penyakit dengan akurasi tinggi melalui data pemindaian. Maka tidak heran jika profesi-profesi yang bersifat rutin dan berbasis data mulai tergeser oleh mesin yang mampu bekerja lebih cepat, konsisten, dan efisien.

Mahasiswa Generasi Digital — Tapi Belum Sepenuhnya Siap

Mahasiswa zaman sekarang adalah generasi yang lahir dan tumbuh bersama teknologi. Mereka terbiasa dengan aplikasi digital, perangkat pintar, serta platform kolaborasi daring. Namun, menjadi terbiasa bukan berarti siap.

Banyak mahasiswa masih terjebak dalam pola belajar lama: mengejar IPK tinggi, memenuhi tugas tepat waktu, dan aktif organisasi sebagai nilai plus. Semua itu penting. Tapi ketika perusahaan mulai memprioritaskan kandidat dengan kemampuan adaptasi teknologi, berpikir kritis, dan inisiatif inovatif, pola lama tidak lagi cukup. Mahasiswa yang tidak meng-upgrade dirinya dengan skill digital dan literasi teknologi akan tertinggal bahkan sebelum benar-benar mulai.

Hal ini sejalan dengan hasil riset McKinsey Global Institute, yang memprediksi bahwa pada tahun 2030, sekitar 14% pekerjaan global akan otomatis tergantikan oleh teknologi. Di sisi lain, akan muncul banyak pekerjaan baru yang menuntut keterampilan tinggi dan kolaboratif antar disiplin. Artinya, dunia kerja tidak menyusut, tapi berubah. Siapa pun yang tidak berubah bersamanya, akan tersisih.

Bersaing dengan Robot: Apa yang Bisa Dilakukan Manusia?

Dalam dunia yang semakin otomatis, manusia tetap memiliki keunggulan yang tak tergantikan. Meskipun robot bisa memproses data dan mengambil keputusan cepat, mereka tidak bisa menandingi kecerdasan emosional, pemahaman konteks sosial, dan nilai-nilai etika yang dimiliki manusia. Inilah yang harus dikembangkan mahasiswa masa kini:

1. Berpikir Kritis & Solutif – Bukan sekadar mengikuti instruksi, tapi mampu mengevaluasi, menimbang, dan mencari solusi kreatif atas masalah kompleks.

2. Komunikasi Interpersonal – Skill berkomunikasi yang baik, mampu bekerja dalam tim, dan menjembatani ide antar individu.

3. Kreativitas & Inovasi – Menghasilkan sesuatu yang orisinal dan relevan, bukan hanya meniru.

4. Etika dan Kepekaan Sosial – Mampu mengambil keputusan berbasis nilai kemanusiaan, bukan hanya logika dingin algoritma.

Tanpa kemampuan ini, mahasiswa akan dengan mudah digantikan oleh sistem otomatis. Karena banyak sekali pekerjaan yang kini dinilai hanya dari hasil akhir — bukan dari proses, niat, atau usaha.

Peran Institusi dan Pemerintah: Mencetak Manusia Siap Masa Depan

Tidak adil jika beban persiapan hanya dibebankan pada mahasiswa. Institusi pendidikan juga memiliki tanggung jawab besar dalam menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan zaman. Sayangnya, masih banyak universitas yang terlalu fokus pada teori dan nilai ujian, tanpa memberikan ruang untuk eksplorasi keterampilan masa depan seperti coding dasar, desain interaktif, data science, atau digital leadership.

Di sinilah pemerintah harus hadir. Melalui program seperti Literasi Digital Nasional, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan telah melibatkan lebih dari 24,6 juta peserta dalam pelatihan teknologi digital per Januari 2024. Namun cakupan ini belum menjangkau seluruh mahasiswa, terutama mereka yang ada di daerah atau kampus non-unggulan.

Diperlukan kolaborasi lebih erat antara kampus, dunia industri, dan pemerintah agar transisi menuju dunia kerja masa depan tidak menjadi jurang pemisah antara “yang siap” dan “yang tertinggal”.

Adaptif, Bukan Sekadar Aktif

Banyak mahasiswa menganggap “aktif di media sosial” sebagai indikator melek digital. Padahal, melek digital bukan hanya bisa menggunakan teknologi, tapi memahami dampaknya, manfaatnya, dan cara mengelolanya. Adaptif berarti tidak panik saat teknologi berubah, tapi juga tidak terlalu bergantung tanpa memahami cara kerjanya.

Di masa depan, mahasiswa yang akan unggul adalah mereka yang mampu berdiri di tengah gelombang perubahan, memanfaatkan teknologi sebagai alat, bukan sebagai penopang sepenuhnya. Mereka sadar bahwa dunia kerja tidak akan kembali seperti dulu, dan memilih untuk mempersiapkan diri hari ini, bukan besok.

Karena pesaing kita bukan cuma orang-orang yang lebih pintar atau lebih rajin — tapi juga sistem yang tidak tidur, tidak lelah, dan tidak pernah minta gaji.

Penulis: 

Dwisa Aprilia

0 Suka

4
Bagikan

Artikel Terkait 

Poster-Home-Sweet-Loan
IMG-20250702-WA0066
Gambar-WhatsApp-2025-07-09-pukul-15.57