BANDUNG, SUAR MAHASIAWA AWARDS — Aborsi penghentian kehamilan sebelum usia lahir merupakan isu kontroversial di banyak negara, termasuk Indonesia. Secara hukum, aborsi hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu seperti untuk menyelamatkan nyawa ibu atau akibat perkosaan sesuai UU No. 36 Tahun 2009; Perubahan terbaru, UU No. 17/2023 menegaskan indikasi ini, termasuk janin tidak viable dan kehamilan akibat kekerasan seksual.
Fenomena yang mengkhawatirkan adalah meningkatnya kasus aborsi di kalangan remaja baik yang sah maupun yang ilegal. Data dari jurnal “Teenagers’ Decision Making About Abortion” menyebutkan bahwa 7% remaja 15-19 tahun pernah hamil, dan 2% di antaranya melakukan aborsi. Artikel ini bertujuan membedah faktor penyebab, dampak, serta strategi pencegahan dan solusi dengan perspektif pro dan kontra.
II. Faktor Penyebab Maraknya Aborsi di Kalangan Remaja
1. Kurangnya Pendidikan Seksual Komprehensif
Pendidikan seksual di sekolah masih sangat terbatas dan cenderung disampaikan secara fragmentasi melalui mata pelajaran Biologi, Agama, atau Kewarganegaraan. Kondisi ini menyebabkan banyak remaja tidak memahami risiko seks pranikah, metode kontrasepsi, maupun komplikasi kehamilan dini. Sebuah penelitian di Bandung menemukan bahwa perilaku seksual berisiko dan kurangnya life skills berkontribusi pada aborsi remaja.
2. Pergaulan Bebas dan Pengaruh Media
Remaja saat ini tenggelam dalam informasi di media sosial, termasuk konten pornografi dan tips aborsi “alami” atau tidak aman . Media melihat informasi menjadi bias dan tak diverifikasi, dan remaja cenderung mencari solusi praktis saat mengalami kehamilan yang tidak diinginkan.
3. Tekanan Sosial, Budaya, dan Stigma
Kehamilan di luar pernikahan masih sangat tabu di Indonesia. Dorongan dari pasangan, ketakutan akan penghakiman dari keluarga, stigma sosial, hingga kekerasan seksual, menjadi pendorong bagi remaja untuk memilih opsi aborsi .
4. Terbatasnya Akses ke Kontrasepsi dan Layanan Kesehatan Ramah Remaja
Kontrasepsi bagi remaja sulit dijangkau karena butuh persetujuan orang tua dan tabu. Studi menunjukkan hanya sekitar sepertiga remaja mengakses kontrasepsi modern, sehingga risiko aborsi akibat kehamilan tak diinginkan meningkat.
III. Dampak Aborsi pada Remaja
1. Dampak Fisik
Aborsi ilegal atau “unsafe abortion” bisa menyebabkan komplikasi berat seperti infeksi, perdarahan, sampai kematian. Penelitian di Yogyakarta mencatat metode berbahaya, seperti konsumsi cairan ananas dan minuman keras, digunakan karena murah dan cepat.
2. Dampak Psikologis
Remaja dapat mengalami trauma emosional, rasa bersalah, depresi, atau bahkan gangguan psikologis jangka panjang. Kompleksitas keputusan ini semakin berat jika berkaitan dengan kekerasan seksual .
3. Dampak Sosial dan Masa Depan
Kehamilan dan aborsi dapat menyebabkan putus sekolah, menurunnya kesempatan karir, tekanan keluarga, serta stigma sosial. Remaja juga rentan mengalami diskriminasi di lingkungan sekitar.
IV. Upaya Pencegahan dan Solusi
1. Pendidikan Seksual Komprehensif
Banyak studi mendukung CSE (comprehensive sexuality education): edukasi yang tepat telah terbukti meningkatkan pengetahuan, penggunaan kontrasepsi, dan menurunkan kasus kehamilan tak diinginkan. Pendekatan ini mendorong kesadaran remaja akan tanggung jawab dan resiko, bukan hanya mengajarkan pantangan abstinensi yang terbukti kurang efektif . Namun, pihak kontra khawatir materi ini bisa dianggap terlalu bebas dan melanggar norma lokal.
2. Peran Keluarga dan Komunitas
Pro: Orang tua perlu menyediakan ruang komunikasi terbuka untuk membicarakan seksualitas dan reproduksi, serta menjadi tempat yang menakutkan stigma. Kontra: Ada kekhawatiran bahwa edukasi seks akan mendorong remaja untuk mencoba lebih awal.
3. Akses Layanan Kesehatan Reproduksi Ramah Remaja
Pendirian klinik remaja yang bersifat rahasia dan tidak menjudge perlu disosialisasikan. Pro: memberi akses aman ke kontrasepsi, konsultasi, dan perawatan. Kontra: Tuduhan memfasilitasi seks bebas bisa jadi kendala regulasi dan dukungan masyarakat.
4. Penegakan Hukum dan Perlindungan Remaja
UU No. 17 Tahun 2023 memperjelas indikasi aborsi seperti kasus perkosaan atau bahaya medis. Pro: Ini memberi dasar agar korban kekerasan dapat mendapatkan layanan sah. Kontra: Tatacara administrasi, seperti perlu izin suami (kecuali korban perkosaan), bisa memperumit akses remaja yang notabene belum menikah.
5. Kampanye Pengurangan Stigma dan Edukasi Publik
Kesadaran masyarakat perlu dibangun bahwa aborsi adalah masalah kesehatan dan hak reproduksi. Pro: Mengurangi stigma, meningkatkan pengangkatan masalah. Kontra: Bisa ditanggapi sebagai mencoba mengubah nilai budaya dasar, terutama dari sudut pandang agama atau tradisi lokal
V. Kesimpulan
Masalah aborsi di kalangan remaja adalah fenomena kompleks yang mencakup aspek kesehatan, sosial, hukum, dan budaya. Data menunjukkan remaja menggunakan aborsi baik legal maupun ilegal karena kekurangan pendidikan, tekanan sosial, dan keterbatasan layanan. Dampaknya tidak hanya fisik tetapi juga psikologis dan sosial, mempengaruhi masa depan mereka secara signifikan.
Secara pro, solusi terbaik adalah melalui pendidikan seksual yang komprehensif, pelayanan klinis yang ramah remaja, dan harmonisasi regulasi yang memihak kesejahteraan remaja. Sisi kontra menekankan pentingnya perlindungan nilai agama, kemurnian pendidikan moral, dan oposisi terhadap penyebaran materi yang dianggap “normalisasi seks bebas”.
Untuk mencapai keseimbangan, diperlukan pendekatan holistik:
Pendidikan seksual yang dibungkus dalam konteks nilai keluarga dan moral.
Layanan kesehatan reproduksi yang terlindungi secara hukum, namun terjangkau.
Penguatan komunikasi keluarga, sinergi antara orang tua, sekolah, dan pemerintah.
Kampanye publik yang menghargai adat dan norma lokal, tanpa mengabaikan hak remaja.
Semoga artikel ini bisa menjadi pemicu dialog terbuka dan tindakan nyata bersama untuk melindungi masa depan generasi muda Indonesia.
Penulis:
Rahma Hajar Riyani