Ilustrasi. (Freepik)
CIREBON, SUAR MAHASISWA — Setiap tanggal 4 Mei, dunia memperingati Hari Anti-Bullying Sedunia, sebuah momentum penting untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak bullying dan mendorong tindakan nyata dalam mengakhirinya. Meskipun kampanye anti-bullying telah digaungkan di berbagai negara, fakta di lapangan menunjukkan bahwa praktik perundungan masih menjadi masalah serius, khususnya di kalangan pelajar dan pengguna media sosial. Ini bukan sekadar isu moral, tetapi juga soal kesehatan mental, hak asasi manusia, dan masa depan generasi muda.
Bullying: Luka yang Tak Selalu Tampak
Bullying bukan hanya soal kekerasan fisik. Ia bisa hadir dalam bentuk verbal, psikologis, sosial, bahkan digital (cyberbullying). Ironisnya, jenis bullying yang tidak terlihat secara fisik sering kali lebih sulit dikenali namun lebih lama membekas dalam jiwa korban. Kata-kata kasar, pengucilan, pelecehan daring, dan penghinaan bisa meruntuhkan kepercayaan diri seseorang, menyebabkan depresi, kecemasan, bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup.
Laporan UNICEF dan berbagai penelitian menunjukkan bahwa satu dari tiga siswa di dunia pernah mengalami bullying dalam bentuk apapun. Di Indonesia, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat ribuan kasus kekerasan terhadap anak yang berkaitan dengan bullying setiap tahunnya. Namun, angka ini kemungkinan masih jauh dari jumlah sebenarnya karena banyak korban memilih diam.
Mengapa Korban Memilih Diam?
Ada beberapa alasan mengapa korban bullying memilih tidak melapor. Rasa malu, takut dihakimi, khawatir akan pembalasan, atau bahkan karena mereka menganggap apa yang dialaminya adalah hal “normal”. Dalam budaya yang masih menganggap bahwa “keras sedikit itu biasa”, banyak orang tua atau guru yang tidak cukup tanggap atau justru menganggap enteng perilaku bullying.
Diamnya korban membuat pelaku merasa aman dan terus mengulangi tindakannya. Inilah yang menyebabkan bullying menjadi siklus yang sulit diputus. Oleh karena itu, Hari Anti-Bullying Sedunia seharusnya menjadi alarm bagi kita semua, terutama para pendidik, orang tua, dan pembuat kebijakan, untuk menciptakan ruang aman bagi anak-anak dan remaja agar berani bicara dan mencari bantuan.
Peran Keluarga dan Sekolah
Keluarga dan sekolah adalah garda terdepan dalam pencegahan bullying. Di rumah, orang tua harus menciptakan komunikasi terbuka dan hangat agar anak merasa aman berbagi. Anak-anak perlu diajarkan empati, menghormati perbedaan, dan pentingnya memperlakukan orang lain dengan baik. Di sekolah, pendidik perlu mendapat pelatihan tentang cara mengenali tanda-tanda bullying dan menanganinya dengan tepat. Kurikulum pendidikan juga bisa diintegrasikan dengan materi karakter dan kesehatan mental.
Selain itu, sekolah perlu memiliki sistem pelaporan yang aman dan tegas, serta sanksi yang jelas bagi pelaku. Namun, sanksi bukan berarti semata-mata hukuman. Yang lebih penting adalah pendekatan edukatif dan rehabilitatif agar pelaku menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi perilaku tersebut.
Media Sosial: Medan Baru, Tantangan Baru
Di era digital, bullying tidak lagi terbatas di ruang fisik. Cyberbullying kini menjadi bentuk perundungan yang paling cepat menyebar dan sulit dikendalikan. Komentar jahat, doxing, penyebaran hoaks atau foto pribadi tanpa izin bisa menghancurkan reputasi dan kehidupan seseorang dalam sekejap. Dan yang paling menakutkan: jejak digital sulit dihapus.
Masyarakat perlu memahami bahwa tindakan bullying di dunia maya memiliki dampak yang sama seriusnya dengan di dunia nyata. Pengguna media sosial, terutama generasi muda, harus diajarkan tentang etika digital, empati, dan pentingnya berpikir sebelum menulis. Platform media sosial juga harus lebih proaktif dalam memantau dan menghapus konten yang bersifat merundung.
Peran Kita Semua
Hari Anti-Bullying Sedunia bukan hanya milik para korban, guru, atau pembuat kebijakan. Ini adalah tanggung jawab kolektif. Kita semua memiliki peran: menjadi pendengar yang baik, menjadi penengah saat melihat bullying, atau bahkan hanya dengan tidak ikut menyebarkan konten yang menyudutkan orang lain.
Kita juga bisa berkontribusi dengan menyuarakan isu ini melalui media sosial, diskusi publik, atau dukungan terhadap organisasi yang menangani kekerasan terhadap anak dan remaja. Semakin banyak orang yang peduli, semakin besar peluang kita untuk mengubah budaya diam menjadi budaya peduli.
Kesimpulan: Dari Simbol ke Aksi Nyata
Hari Anti-Bullying Sedunia bukan sekadar simbol atau seremonial tahunan. Ia adalah seruan untuk bertindak. Kita tidak bisa terus berharap bullying akan hilang dengan sendirinya. Butuh upaya kolektif, sistematis, dan berkelanjutan dari semua elemen masyarakat.
Mari kita mulai dari hal kecil: mendengarkan dengan empati, menegur pelaku dengan berani, mendidik anak tentang kasih sayang, dan menciptakan lingkungan yang aman bagi semua orang. Karena satu tindakan kecil bisa menyelamatkan satu jiwa. Dan satu jiwa yang selamat bisa mengubah dunia.
Penulis: Muhamad Hijar Ardiansah, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon.