BANDUNG, SUAR MAHASISWA AWARD — Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, kembali menjadi perbincangan publik. Siapa yang tidak mengenal Dedi Mulyadi, beliau dikenal sebagai “gubernur konten” atau “raja konten” karena aktifnya ia di media sosial.
Ia kerap membagikan video-video yang menyentuh emosi publik. Namun kali ini bukan karena konten viralnya, tetapi karena program kontroversial: pembinaan anak bermasalah di barak militer. Program ini mulai dijalankan sejak 2 Mei 2025, bekerja sama dengan TNI Angkatan Darat.
Program ini ditujukan untuk siswa yang terlibat kenakalan remaja, seperti bullying, geng motor, pergaulan bebas, dan perilaku menyimpang lainnya. Anak-anak yang dianggap bermasalah dijemput langsung oleh tentara dari rumah mereka, lalu dibina di barak selama 6 hingga 12 bulan.
Selama masa pembinaan, mereka tidak mengikuti sekolah formal, tetapi menjalani aktivitas harian seperti bangun pukul 04.00 pagi, salat subuh, belajar mengaji, latihan bela diri, mencuci pakaian sendiri, serta belajar pelajaran umum. Aktivitas ini diklaim sebagai bentuk pembinaan karakter.zz
“Ini bukan pendidikan militer, tapi pembinaan karakter. Kami ingin membentuk anak-anak yang disiplin dan bertanggung jawab,” ujar Dedi dalam salah satu unggahan videonya”
Namun, kritik datang dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas HAM, dan para pemerhati pendidikan. Mereka menilai program ini berpotensi melanggar hak anak dan dapat menyebabkan trauma.
Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik maupun psikologis dan berhak atas pendidikan yang layak. Pendekatan semi-militer tanpa pendidikan formal selama berbulan-bulan dipandang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan anak. Sehingga Program barak militer untuk anak bermasalah ini membuka perdebatan penting.
“ apakah ini bentuk pembinaan yang efektif, atau pelanggaran hak anak yang dibungkus narasi konten? “
Penempatan anak-anak di lingkungan militer yang keras, bahkan dengan niat pembinaan sekalipun, memunculkan risiko pelanggaran hak-hak tersebut. Apapun jawabannya (masyarakat )fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial menjadi alat utama dalam komunikasi politik. Namun, popularitas tidak boleh mengalahkan prinsip dasar hak asasi manusia, terutama saat menyangkut masa depan generasi muda.
Penulis:
Vera Refa