BANDUNG, SUAR MAHASISWA AWARDS — Di salah satu jalan utama sebuah kota, baliho berukuran besar berdiri mencolok. Seorang pria muda tersenyum dalam setelan jas biru. Di bawah fotonya tertulis: “Lanjutkan Perjuangan Ayah!” Tak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa pria itu adalah anak dari kepala daerah yang masih menjabat. Tak hanya wajahnya yang mirip, slogannya pun serupa.
Fenomena ini bukan hal baru. Dalam dua dekade terakhir, publik disuguhi pemandangan serupa anak menggantikan ayah, istri menggantikan suami, adik menggantikan kakak. Dari pusat hingga daerah, dinasti politik perlahan menjalar, membentuk pola warisan kekuasaan yang tak jauh berbeda dengan era sebelum reformasi bedanya, kini dibungkus dalam baju demokrasi.
Demokrasi yang Dikuasai Keluarga?
Dinasti politik secara sederhana merujuk pada praktik pewarisan kekuasaan dalam lingkup keluarga atau kerabat dekat. Meski sistem pemerintahan Indonesia menganut demokrasi, faktanya, nama-nama besar tetap mendominasi persaingan politik. Dalam Pemilu 2024 saja, puluhan calon legislatif dan kepala daerah berasal dari trah keluarga elite politik.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menyatakan keprihatinan atas meluasnya politik dinasti. Mereka mencatat bahwa dinasti politik cenderung menyuburkan praktik nepotisme, konflik kepentingan, hingga korupsi berjemaah. Beberapa kasus korupsi kepala daerah, misalnya, menyeret juga nama kerabat yang ikut menikmati hasil kejahatan.
Namun, secara hukum, tidak ada aturan tegas yang melarang keluarga pejabat untuk maju dalam pemilu. Mahkamah Konstitusi bahkan sempat menolak gugatan pembatasan dinasti politik dengan alasan hak konstitusional setiap warga negara untuk dipilih.
Peluang Mati Bagi Regenerasi Pemimpin
Bagi generasi muda yang ingin terjun ke dunia politik, praktik ini menjadi tembok besar. Jalur politik menjadi semakin sulit ditembus tanpa “marga” yang tepat. Anak-anak muda dengan kapasitas dan gagasan segar sering kali kalah pamor hanya karena tak punya “nama belakang”.
“Kami bukan anti keluarga pejabat, tapi kalau semua jabatan diwariskan, di mana ruang bagi kami untuk berkontribusi?” ujar Rifki (21), mahasiswa Ilmu Politik Universitas Negeri.
Berbagai pendapat mahasiswa dari latar kampus yang berbeda menunjukkan sikap beragam terhadap isu ini, mulai dari skeptisisme hingga semangat perubahan.
“Dari awal kayak udah tau siapa yang bakal menang. Bahkan calon-calon baru yang punya ide bagus pun kalah pamor,” ujar Rehan (20), mahasiswa semester empat yang memilih golput di pemilu kampus terakhir.
“Kami di organisasi kampus juga mulai kesulitan dorong regenerasi. Kadang orang yang punya akses ke birokrasi kampus lebih mudah naik, bukan karena kerja nyatanya, tapi karena relasi,” kata Amanda (22), mahasiswi Ilmu Pemerintahan yang aktif di BEM fakultasnya.
Namun, tidak semua menyerah pada sistem yang ada.
“Meski kelihatannya tertutup, bukan berarti kita nggak bisa masuk. Cuma jalurnya aja beda bukan warisan, tapi kerja keras,” ucap Laras (21), mahasiswa Komunikasi yang pernah ikut pelatihan kepemimpinan nasional.
Apa Salahnya Jika Anak Pejabat Maju?
Tentu tidak semua anggota keluarga pejabat tak layak. Beberapa di antaranya terbukti punya kompetensi dan elektabilitas tinggi secara mandiri. Namun masalahnya bukan pada “siapa”, tapi “bagaimana”. Jika jalur politik hanya terbuka untuk keluarga tertentu, maka esensi demokrasi yakni keterbukaan dan persaingan yang adil terancam hilang.
“Bahaya politik dinasti bukan hanya pada siapa yang memimpin, tapi pada pola pikir bahwa kekuasaan adalah hak waris, bukan amanah rakyat,” ujar Dosen Politik UI, Dr. Hanif Wibowo dalam seminar politik kampus baru-baru ini.
Peran Mahasiswa: Pemilih Kritis & Pengawas Demokrasi
Mahasiswa, sebagai kelompok terdidik dan netral, punya peran penting untuk mendorong regenerasi kepemimpinan yang sehat. Bukan hanya dengan terlibat langsung dalam politik, tapi juga sebagai pengawas demokrasi dan penyebar informasi yang objektif.
Aktivisme digital kini menjadi senjata mahasiswa dalam melawan dominasi narasi politik yang tidak sehat. Di TikTok, Instagram, hingga podcast kampus, suara kritis anak muda mulai terdengar. Tak jarang mereka membongkar jejak calon pemimpin yang ternyata bagian dari dinasti bermasalah.
Namun tantangannya besar. Politik identitas, serangan buzzer, hingga hoaks menjelang pemilu bisa mematahkan semangat.
Indonesia Butuh Pemimpin, Bukan Pewaris
Demokrasi Indonesia sudah melewati berbagai ujian sejak reformasi. Tapi jika kekuasaan hanya berpindah tangan dalam lingkaran keluarga, bukankah kita sedang mundur ke belakang?
Politik semestinya jadi ruang terbuka bagi siapa pun yang punya visi, bukan sekadar koneksi. Pemilih muda harus bangkit, meneliti, dan memilih secara sadar. Karena pada akhirnya, masa depan demokrasi kita bukan hanya soal siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tapi siapa yang diberi kesempatan untuk ikut berlomba.
“Indonesia tidak kekurangan pemimpin. Yang kurang adalah ruang bagi mereka untuk tumbuh tanpa harus menjadi ‘anak siapa,”.
Penulis:
Alya Alnanda