BANDUNG, SUAR MAHASISWA AWARDS — “Kuliah lancar, Nak?”, “Alhamdulillah, Bu. Semua baik,”. Itu jawaban yang hampir selalu saya berikan setiap kali orang tua menelepon. Meskipun saat itu saya sedang menghadapi tekanan tugas kampus, kurang tidur karena setor hafalan, atau menahan lelah karena belum sempat makan sejak pagi.
Sebagai mahasiswa yang juga santri, saya merasa harus selalu terlihat kuat dan baik-baik saja di depan orang tua. Tidak hanya karena saya tidak ingin mereka khawatir, tapi juga karena saya tahu betapa besar pengorbanan mereka agar saya bisa menempuh pendidikan seperti ini.
Saya menjalani hari-hari dengan jadwal yang padat. Pagi hari saya mengaji Al-Qur’an, siangnya kuliah, sore kembali mengaji, dan malam mengikuti pengajian kitab di pondok. Hampir tidak ada waktu istirahat yang cukup, apalagi untuk sekadar memulihkan pikiran.
Namun semua itu saya simpan sendiri. Bukan karena saya tidak butuh bantuan, tapi karena saya merasa tidak boleh mengeluh. Kadang saya merasa tidak adil terhadap diri saya sendiri memaksa terus berjalan, meskipun secara mental saya sedang kelelahan.
Saya percaya, banyak mahasiswa lain yang juga mengalami hal serupa. Kita tersenyum di depan orang tua, menjawab semua pertanyaan dengan kalimat yang meyakinkan, padahal di dalam hati ada banyak hal yang belum selesai.
Kesehatan mental di kalangan mahasiswa-santri adalah hal penting yang perlu mulai dibicarakan. Kita harus punya ruang untuk jujur terhadap diri sendiri, tanpa merasa bersalah. Karena menjadi tangguh bukan berarti harus memendam semuanya sendirian.
Saya belajar bahwa merawat diri bukan bentuk kelemahan. Justru dengan menjaga pikiran dan hati tetap sehat, saya bisa menjalani peran saya dengan lebih utuh sebagai santri, mahasiswa, dan juga sebagai anak yang ingin terus membanggakan orang tua, tanpa kehilangan dirinya sendiri.
Tidak apa-apa sesekali lelah. Tidak apa-apa jujur. Karena dari kejujuran itulah kita bisa tumbuh dengan lebih kuat.
Penulis:
Zannuba Meyla Fauzy