Search
Close this search box.
Kota Kreatif yang Tersandung Sampah
Kota Kreatif yang Tersandung Sampah

Kota Kreatif yang Tersandung Sampah

Opini
3 Juli 2025

BANDUNG,  SUAR MAHASISWA AWARDS — Bandung kerap dipuja sebagai kota kreatif. Identitas ini bukan sekadar label, melainkan hasil dari sejarah panjang dinamika budaya dan inisiatif akar rumput yang mendorong kemunculan berbagai komunitas seni, distro, musik, dan industri kreatif lainnya. Di kota ini, kreativitas tumbuh bukan dari arahan pemerintahan, melainkan dari kegelisahan dan semangat anak muda yang ingin tampil beda, berkarya, dan menciptakan ruang-ruang ekspresi di tengah keterbatasan.

Dari distro-distro yang menyemarakkan Dago dan Trunojoyo sejak awal 2000-an, hingga festival-festival seperti Kickfest yang jadi ruang pameran bagi brand lokal dan musisi independen, Bandung telah memantapkan dirinya sebagai pelopor tren gaya hidup urban berbasis lokal. Pemerintah kota, terutama sejak era Ridwan Kamil, semakin aktif merangkul geliat kreatif itu, mendorong kolaborasi antara komunitas dan birokrasi melalui Bandung Creative City Forum.

Ironi di Balik Kreativitas

Namun di balik julukan “kota kreatif”, Bandung juga menyimpan ironi: krisis pengelolaan sampah yang akut. Kontras mencolok ini tampak nyata ketika berjalan di kawasan Pasar Caringin. Pada penghujung 2024, publik dikejutkan oleh tumpukan sampah yang menggunung di depan pasar tersebut, membentuk lanskap absurd bak gurun sampah di jantung kota. Bau menyengat, air menggenang, dan sisa-sisa buah membusuk semuanya menjadi bagian dari keseharian warga yang ironisnya hidup di tengah kota yang konon kreatif dan berbudaya.

Fenomena ini bukan semata akibat minimnya armada pengangkut sampah atau terbatasnya kuota pembuangan ke TPA Sarimukti. Masalahnya jauh lebih struktural: mulai dari minimnya kesadaran memilah sampah, lemahnya regulasi, hingga belum meratanya infrastruktur pengelolaan limbah di wilayah pemukiman. Bahkan, warga sekitar Pasar Caringin kerap membuang sampah langsung ke pasar karena tidak tersedia tempat pembuangan di lingkungan mereka.

Bandung seperti terjebak dalam dua wajah. Di satu sisi, kota ini menawarkan energi kreatif yang menginspirasi. Lokalisme merek berkembang, komunitas tumbuh, dan warga diberdayakan untuk menata lingkungan melalui seni. Namun di sisi lain, masalah-masalah dasar seperti pengelolaan sampah dan kebersihan publik tampak diabaikan. Situasi ini menggambarkan ironi klasik kota-kota besar di Indonesia: mengedepankan pencitraan, tapi lupa membenahi akar persoalan.

Realitas ini juga berdampak pada kehidupan sehari-hari warganya. Ketika kawasan seperti Pasar Caringin dijadikan lokasi pemotretan kreatif, genangan air, bau busuk, dan tumpukan sampah menjadi latar yang tak terhindarkan. Sebuah pengalaman yang membekas karena mencerminkan realitas kota secara jujur di balik ekspresi artistik, ada aroma busuk yang menyelinap di sela-sela karya.

Mengolah Kreativitas Menjadi Aksi Nyata

Menghadapi ironi ini, Bandung membutuhkan pendekatan kreatif yang tidak hanya menonjol di permukaan, tetapi juga menyentuh persoalan mendasar seperti pengelolaan sampah. Solusinya bukan hanya terletak pada pemerintah, tapi juga di tangan komunitas kreatif itu sendiri. Jika selama ini energi anak muda Bandung berhasil menciptakan tren mode dan musik, mengapa tidak diarahkan pula untuk merancang sistem edukasi dan kampanye pengurangan sampah yang inovatif?

Komunitas disini bisa berkolaborasi menciptakan gerakan “sampah sebagai identitas visual kota,” misalnya dengan festival mural dari bahan daur ulang, workshop pemilahan sampah berbasis komunitas, atau platform digital yang memudahkan warga melaporkan titik-titik tumpukan sampah. Pemerintah pun perlu hadir lebih aktif melalui regulasi yang berpihak pada lingkungan, seperti kewajiban memilah sampah dari rumah tangga, serta insentif bagi RW atau kelurahan yang berhasil menerapkan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) secara konsisten.

Lebih jauh, pelaku usaha lokal dan industri kreatif juga bisa dilibatkan dalam upaya ini dengan menciptakan produk berbahan daur ulang, menjadikan limbah bukan lagi sisa, melainkan sumber nilai tambah. Di sinilah esensi kota kreatif akan diuji, bukan sekadar menampilkan citra indah, tetapi mampu menyulap masalah menjadi potensi perubahan.

Bandung sejatinya tidak kekurangan ide maupun sumber daya manusia yang mumpuni. Yang dibutuhkan kini hanyalah kemauan bersama dari pemerintah, komunitas, hingga warga biasa untuk menjadikan kreativitas sebagai alat perubahan sosial, bukan sekadar simbol estetika belaka.

Sebab kota kreatif tidak seharusnya berhenti pada kemasan dan festival. Kreativitas sejati mestinya menyentuh dimensi hidup warganya secara nyata, termasuk dalam pengelolaan lingkungan dan sistem kebersihan. Bandung memang istimewa, tapi untuk benar-benar layak disebut sebagai kota masa depan, Bandung harus mampu menyelaraskan prestasi kreatifnya dengan tata kelola kota yang lebih bersih, sehat, dan manusiawi.

Sebab kreativitas bukan sekadar ekspresi, tapi juga tanggung jawab terutama terhadap ruang hidup bersama.

PENULIS:

Rizqi Baihaqi, Universitas Informatika dan Bisnis Indonesia (UNIBI)

8 Suka

11
Bagikan

Artikel Terkait 

1000066614
1000031404
FBE058A6-282E-40E5-96D1-E5A4C6CC5A57