BANDUNG, SUAR MAHASISWA AWARDS — Kesehatan mental remaja di Indonesia kini menjadi isu yang semakin penting untuk diperhatikan. Tekanan akademik, konflik dalam keluarga, dinamika sosial, hingga pengaruh media sosial menjadi sumber utama gangguan mental di kalangan remaja.
Berdasarkan survei I-NAMHS tahun 2022, sebanyak 15,5 juta remaja mengalami masalah kesehatan mental. Sayangnya, kondisi ini kerap dipandang sebelah mata. Padahal, bagi sebagian remaja, tekanan yang tak tertangani bisa berubah menjadi luka yang lebih dalam, bahkan mendorong mereka melakukan self-harm atau menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelarian dari rasa sakit emosional yang tak tertahankan.
Sebagai penulis, ini bukan hanya berdasarkan kajian literatur atau data statistik, tetapi juga dari pengalaman pribadi sebagai remaja yang pernah bergulat dengan tekanan tersebut. Jika tidak ditangani dengan pendekatan yang tepat, gangguan ini bisa berdampak jangka panjang.
Akar Permasalahan: Tekanan yang Tidak Terlihat
Remaja saat ini hidup dalam tekanan yang datang dari berbagai arah. Di sekolah, mereka dihadapkan pada tugas sehingga membuat orang tua berekspektasi tinggi . Kegagalan akademik sering kali mereka artikan sebagai kegagalan hidup, yang menurunkan rasa percaya diri dan menciptakan stres kronis.
Di rumah, dukungan emosional sering kali minim. Orang tua sibuk, tidak responsif, atau bahkan menyalahkan saat anak mencoba membuka diri. Sehingga mereka memilih untuk memendam segalanya.
Hubungan sosial dan percintaan juga tidak bisa diabaikan.
Putus cinta, penolakan, atau konflik dengan teman sebaya dapat menciptakan luka emosional mendalam. Di sisi lain, media sosial menciptakan standar kehidupan yang tidak realistis. Remaja dengan mudah merasa tidak cukup baik saat membandingkan hidup mereka dengan kehidupan “sempurna” yang dilihat secara daring.
Strategi Inovatif: Menjawab Tantangan dengan Pendekatan Baru
1. Edukasi Emosional Sejak Dini
Langkah awal yang paling penting adalah mengintegrasikan pendidikan emosional dalam lingkungan sekolah dan rumah. Materi seperti pengenalan emosi, manajemen stres, dan keterampilan menyelesaikan konflik perlu diajarkan secara sistematis. Sekolah juga dapat membentuk kelompok diskusi sebagai ruang aman bagi siswa untuk berbagi cerita.
2. Layanan Konseling yang Humanis dan Aksesibel
Sekolah harus menyediakan layanan konseling yang mudah diakses. Pendekatan yang digunakan tidak boleh bersifat menghakimi, melainkan bersifat empatik dan mendengarkan. Konselor perlu memahami konteks psikologis khas remaja agar dapat membangun relasi kepercayaan.
3. Pelibatan Keluarga secara Aktif
Orang tua perlu diberikan pelatihan atau sosialisasi tentang pentingnya peran emosional mereka. Tidak semua orang tua harus menjadi “ahli psikologi”, tetapi cukup menjadi pendengar yang hadir dengan empati. Komunikasi terbuka di rumah akan menciptakan rasa aman bagi remaja untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan.
4. Media Sosial sebagai Kanal Edukasi Positif
Alih-alih menjadi sumber tekanan, media sosial bisa diubah menjadi ruang edukatif. Kolaborasi dengan influencer, komunitas pemuda, dan tenaga kesehatan mental bisa menciptakan konten positif yang membahas isu kesehatan mental secara ringan namun bermakna. Kampanye seperti #BeraniBicara atau #MentalHealthItuPenting bisa memicu kesadaran kolektif.
5. Komunitas dan Masyarakat Inklusif
Masyarakat luas perlu menjadi bagian dari sistem dukungan mental. Komunitas bisa mengadakan kegiatan seperti kelas mindfulness terbuka, diskusi kelompok, atau sesi berbagi cerita. Kehadiran ruang-ruang publik yang aman dan inklusif akan membantu remaja merasa tidak sendiri.
Kesimpulan
Kesehatan mental remaja bukanlah isu pribadi semata, melainkan tanggung jawab kolektif. Tekanan hidup yang dihadapi remaja masa kini sangat kompleks, dan membutuhkan pendekatan penanganan yang inovatif, inklusif, dan berkelanjutan.
Dengan mengedepankan kolaborasi antara sekolah, keluarga, masyarakat, dan pemanfaatan teknologi, kita bisa menciptakan sistem dukungan yang responsif terhadap kebutuhan mental remaja. Kita perlu membangun budaya mendengarkan, empati, dan keberanian untuk membicarakan hal-hal yang dulu dianggap tabu. Masa depan bangsa sangat tergantung pada generasi mudanya. Mari kita bantu mereka tumbuh bukan hanya secara fisik dan intelektual, tetapi juga secara emosional dan mental.
Penulis:
Cynara Parahita Zaelanti Putri, Mahasiswa Universitas Indonesia Membangun (INABA)