BANDUNG, SUAR MAHASISWA AWARD — Kita sedang berada di tengah gelombang revolusi teknologi yang bergerak jauh lebih cepat dari ritme perubahan institusi pendidikan itu sendiri. Dalam era Society 5.0—di mana kecerdasan buatan, Internet of Things, dan big data menjadi denyut utama peradaban—pendidikan tidak lagi bisa sekadar mengejar ketertinggalan.
Ia harus melakukan lompatan paradigma. Dalam konteks ini, coding dan AI bukan sekadar tambahan konten dalam pelajaran TIK, tetapi sudah semestinya menjadi fondasi literasi baru pendidikan abad ke-21.
Masa depan menuntut lebih dari sekadar kecakapan mengoperasikan perangkat; kita membutuhkan generasi yang dapat berpikir kritis, adaptif, kreatif, dan memiliki keberanian untuk mencipta. Karena itulah pengenalan coding dan AI sejak sekolah dasar menjadi suatu kebutuhan strategis yang tidak bisa ditunda.
Ketika anak-anak belajar tentang logika algoritmik dan berpikir komputasional sejak dini, mereka sejatinya sedang dilatih untuk memahami cara kerja dunia modern—yang penuh dengan kompleksitas, tetapi bisa dijinakkan dengan ketekunan berpikir sistematis.
Pandangan ini sejalan dengan landasan yuridis pendidikan kita. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 3, secara eksplisit menekankan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, dan memiliki kecakapan hidup.
Dalam iklim dunia yang kian terdigitalisasi, tidak bisa disangkal bahwa “kecakapan hidup” yang dimaksud kini juga mencakup literasi digital dan kemampuan mengelola serta menciptakan teknologi—sebuah dimensi yang telah diakui urgensinya dalam dokumen-dokumen kebijakan strategis Kemendikbudristek belakangan ini.
Jika kita tarik ke belakang secara historis, reformasi kurikulum Indonesia telah berproses dari pendekatan berbasis konten menuju pembelajaran berbasis kompetensi dan penguatan Higher Order Thinking Skills (HOTS). Kurikulum Merdeka adalah bentuk puncak dari perjalanan panjang ini. Pendekatan proyek-proyek lintas disiplin, termasuk integrasi coding dan AI, menjadi bukti bahwa transformasi pendidikan tidak lagi sekadar membentuk murid yang mampu menghafal, tapi murid yang mampu menyelesaikan masalah nyata.
Beberapa telaah kebijakan dan studi, seperti yang dilakukan oleh Anwas dan rekan-rekan pada 2022, telah menggarisbawahi pentingnya integrasi keterampilan digital dalam pembelajaran lintas jenjang.
Filosofisnya, pendidikan bukan hanya tentang “mengisi kepala” siswa dengan informasi, tetapi membebaskan potensi intelektual dan emosional mereka.
Dalam semangat pemikiran Paulo Freire, pendidikan sejati bukanlah proses domestikasi, tetapi proses pembebasan dan dalam konteks hari ini, coding dan AI memberi jalan agar peserta didik tidak sekadar menjadi konsumen teknologi, melainkan produsen makna, pencipta alat, dan penentu masa depan. Mereka belajar mengubah ketergantungan menjadi kemandirian, dari pengguna pasif menjadi inovator aktif.
Secara sosiologis, kesetaraan teknologi adalah tantangan tersendiri. Masih terdapat jurang lebar antara kota dan desa, pusat dan pinggiran, terkait akses dan literasi digital. Karena itulah pengenalan teknologi seperti coding dan AI sejak dini sangat penting untuk memastikan tidak lahir generasi digital yang hanya dimiliki sebagian kalangan.
Studi yang dilakukan oleh Latifah dan koleganya (2023) menyoroti bahwa penguatan literasi digital sejak tingkat dasar berperan penting dalam menekan kesenjangan antarwilayah dan menciptakan inklusivitas pendidikan digital di Indonesia.
Kita tidak sedang berbicara tentang masa depan yang jauh, tapi realitas hari ini. Dunia kerja, dunia sosial, dan dunia ide kini ditentukan oleh siapa yang memahami bahasa algoritma, siapa yang mampu bekerja berdampingan dengan AI, dan siapa yang siap terus belajar. Pendidikan kita tidak bisa bertahan dalam kerangka analog jika dunia di sekelilingnya sudah berbicara dalam kode-kode digital.
TKA menjadi basis Instrumen pemetaan Peserta Akademik
Sudah saatnya kita mengakui bahwa wajah asesmen pendidikan di Indonesia tengah berubah. Ujian Nasional—yang selama bertahun-tahun menjadi momok bagi siswa dan guru—telah digantikan oleh pendekatan yang lebih manusiawi dan relevan: Tes Kemampuan Akademik (TKA).
Instrumen ini tidak hanya mengukur hafalan, tapi memetakan kompetensi bernalar, kemampuan memecahkan masalah, serta daya analisis kontekstual. Ini sejalan dengan semangat pendidikan masa kini yang mendorong pengembangan Higher Order Thinking Skills (HOTS) sebagai inti pembelajaran.
Menariknya, data terbaru mulai menunjukkan bahwa siswa yang dikenalkan dengan coding dan kecerdasan buatan (AI) sejak dini cenderung mencatatkan skor lebih tinggi dalam aspek logika dan problem solving. Temuan seperti ini tidak hanya muncul dari praktik sekolah, tetapi juga telah didukung secara akademik oleh berbagai kajian. Salah satunya adalah studi yang dilakukan oleh Febriantoro dan timnya yang dipublikasikan pada awal 2024. Dalam penelitian tersebut, siswa SD kelas 4 hingga 6 yang diperkenalkan dengan platform seperti Scratch dan ChatGPT menunjukkan peningkatan nyata dalam kemampuan berpikir komputasional. Mereka tidak hanya mahir menyusun algoritma dasar, tetapi juga mampu mengevaluasi solusi dan berpikir dalam pola-pola sistematis.
Bukan hanya di tataran mikro, tren global pun menunjukkan pola yang sama. Laporan-laporan ilmiah internasional, seperti yang dikaji dalam publikasi MDPI pada 2023, memperlihatkan bahwa negara-negara yang sejak awal mengintegrasikan coding dalam sistem pendidikan dasarnya lebih siap dalam menghadapi disrupsi digital. Mereka tidak gamang menghadapi kemajuan, karena siswa-siswinya telah terbiasa menggunakan nalar teknologi sebagai bagian dari keseharian berpikir.
Namun tentu saja, transformasi pendidikan digital tak akan berhasil jika hanya bertumpu pada kurikulum. Kualitas pendidik tetap menjadi penentu utama. Dalam konteks ini, pelatihan guru berbasis teknologi memainkan peran vital. Salah satu studi internasional yang dirangkum tahun ini menyebutkan bahwa pelatihan digital mampu meningkatkan rasa percaya diri guru hingga lebih dari 70%.
Di Indonesia, temuan serupa dilaporkan oleh sejumlah peneliti yang mengamati dampak pelatihan coding terhadap guru. Mereka yang telah mengikuti pelatihan merasa jauh lebih siap dan inovatif dalam menyusun modul pembelajaran, serta mampu mengelola kelas digital secara lebih interaktif.
Yang tak kalah menarik adalah bagaimana TKA sebagai instrumen asesmen modern mulai memfasilitasi model evaluasi berbasis aplikasi dan simulasi digital. Ini memberikan ruang bagi peserta didik untuk menunjukkan kemampuannya dalam menyelesaikan tantangan nyata, bukan sekadar menjawab soal pilihan ganda.
Bahkan laporan media edukasi nasional awal 2024 menyebut bahwa siswa yang aktif mengikuti kegiatan coding di luar kelas memperoleh skor TKA 15% lebih tinggi dalam bidang numerasi dan logika dibandingkan siswa yang tidak mengikuti program serupa. Ini bukan kebetulan ini adalah bukti nyata bahwa keterampilan digital memiliki korelasi kuat dengan kompetensi akademik yang lebih dalam.
Tetapi tentu, sistem yang baik tidak akan berjalan optimal tanpa dukungan dari seluruh ekosistem pendidikan. Pemerintah pusat memang memegang kunci kebijakan, namun pemerintah daerah, sekolah, masyarakat, bahkan sektor swasta memiliki peran tak kalah penting.
Sebuah analisis kebijakan pendidikan yang terbit belum lama ini menggarisbawahi pentingnya kolaborasi multipihak untuk mempercepat transformasi digital pendidikan. Dukungan infrastruktur saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan pemerataan literasi digital dan pelatihan menyeluruh bagi tenaga pendidik.
Pada akhirnya, coding dan AI bukanlah sekadar isu teknologi, tetapi tentang bagaimana kita memandang masa depan pendidikan itu sendiri. Apakah kita akan terus bertahan pada sistem lama yang menyesakkan dan statis, atau memilih berani berubah, membuka jalan bagi generasi yang lebih cerdas, mandiri, dan relevan dengan zamannya? TKA, coding, AI, guru yang terlatih semuanya adalah bagian dari peta jalan baru menuju pendidikan yang lebih merdeka dan bermakna.
Langkah Nyata Pemerintah Untuk Menyongsong Masa Depan Indonesia
Langkah berani sedang diambil oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Pada akhir November 2024, pemerintah menggelar sebuah forum penting yang mungkin kelak akan dikenang sebagai salah satu titik balik dalam sejarah pendidikan dasar Indonesia: Diskusi Pembelajaran Coding dan AI untuk Siswa Sekolah Dasar untuk Siswa Sekolah Dasar-SMP maupun SMA. Di tengah tantangan zaman yang terus berubah, forum ini hadir bukan sekadar ajang seremonial, tetapi sebagai upaya konkret untuk memetakan masa depan pendidikan yang lebih adaptif terhadap tuntutan global.
“Ini adalah bagian dari strategi besar untuk memastikan generasi muda kita tidak hanya siap secara mental dan spiritual, tetapi juga secara digital,” ujar Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ul Haq, dalam sambutannya. Ia menekankan bahwa pengintegrasian coding dan kecerdasan buatan ke dalam kurikulum pembelajaran merupakan langkah strategis dalam mempersiapkan siswa menghadapi era digital.
Menurutnya, “mata pelajaran ini bersifat pilihan dan akan diterapkan di sekolah yang memiliki kesiapan dari segi sarana, infrastruktur, serta kemampuan siswa.”
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa langkah ini tidak akan dipaksakan secara seragam ke seluruh sekolah, melainkan dilakukan secara bertahap dan kontekstual. Ini merupakan pendekatan yang bijak karena tidak memaksakan standardisasi kaku, tetapi justru membuka ruang inovasi lokal sesuai kesiapan masing-masing satuan pendidikan.
Lebih jauh, kegiatan ini bukan hanya milik birokrat. Forum tersebut mempertemukan para pemangku kepentingan dari berbagai lini: menteri, guru, kepala sekolah, komunitas teknologi, hingga pegiat pendidikan. Sebuah atmosfer kolaboratif yang jarang terjadi dalam perumusan kebijakan pendidikan dasar. Ini menandai era baru di mana pendidikan bukan hanya urusan kementerian, tetapi hasil gotong royong antara negara, masyarakat, dan ekosistem inovasi.
Dalam forum tersebut, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti menegaskan bahwa “Pembelajaran coding adalah bagian dari persiapan generasi muda untuk menghadapi kompetisi global. Meskipun ada pendapat bahwa literasi dasar lebih penting, kami percaya bahwa penguasaan teknologi justru akan mendukung perkembangan literasi dan numerasi anak-anak kita.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa dikotomi antara literasi dasar dan teknologi sudah tidak relevan lagi. Di era Society 5.0, literasi digital justru memperkuat daya baca, daya hitung, dan daya cipta generasi muda. Pendidikan digital bukan untuk menggantikan kemampuan dasar, tapi untuk memperluas cakrawala berpikir anak-anak Indonesia.
Sebagai catatan penting, arah kebijakan ke depan harus mengacu pada prinsip transformasi menyeluruh. Artinya:
1. Coding dan AI perlu diposisikan sebagai pelajaran utama atau wajib sejak jenjang dasar.
2. Guru-guru SD dan SMP perlu mendapatkan pelatihan literasi digital yang berkelanjutan, bukan pelatihan insidental.
3. Pembangunan infrastruktur digital harus diiringi dengan penyediaan konten edukatif yang kontekstual dan terbuka.
4. Pengembangan kurikulum digital harus melibatkan kolaborasi multisektor: dunia usaha, komunitas teknologi, dan perguruan tinggi.
Kita tidak bisa terus terpukau oleh jargon revolusi digital tanpa membangun pondasi kuat di jenjang pendidikan dasar. Coding dan AI bukan sekadar alat teknis, tetapi instrumen berpikir yang membentuk nalar sistematis dan kreativitas. Jika kita menunda terlalu lama, kita justru mempertaruhkan kesiapan generasi kita menghadapi dunia yang sudah lebih dulu berubah.
Penulis:
Fikri Ahmad