Konsepsi Pendidikan Sosial Budaya Ki Hajar Dewantara
Konsepsi Pendidikan Sosial Budaya Ki Hajar Dewantara

Konsepsi Pendidikan Sosial Budaya Ki Hajar Dewantara

Pendidikan
28 April 2025

Pendidikan tidak pernah dan tidak akan luput dari kehidupan manusia. Pendidikan menjadi suatu hal yang amat krusial karena pokok sebab menentukan masa depan dari seorang anak manusia. Tanpa pendidikan, individu tidak akan memiliki suatu pengetahun dan keterampilan yang dapat menunjang kehidupannya sendiri. Pendidikan berasal dari kata dasar “ Didik” yang di dalam KBBI berarti pelihara dan latih.

Di Indonesia sendiri pendidikan belakangan ini sedang hangat diperbincangkan dalam setiap pertemuan santai maupun kritis. Negara kita, memiliki seorang tokoh pendidikan yang memiliki ide dan gagasan yang bagus dan relevan untuk diterapkan serta tidak kaku dalam penerapannya. Bahkan sampai saat ini masih gagasan besarnya soal pendidikan masih sering digaungkan setiap hari pendidikan berlangsung, di upacara-upacara, di saluran televisi bahkan di sosial media bertebaran konten terkait dengan gagasan pendidikan Ki Hajar Dewantara.

Ki Hajar Dewantara, atau sebelumnya dikenal dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, adalah tokoh yang tak terlupakan dalam sejarah pendidikan Indonesia. Lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta, beliau dikenal sebagai pelopor pendidikan nasional di Indonesia dan dijuluki sebagai Bapak Pendidikan Indonesia.

Dalam konsepsi pendidikannya menegaskan bahwasanya guru harus mencontohkan yang baik di depan (Ing Ngarsa Sungtuludo), merangkul di tengah-tengah (Ing Madya Mangun Karsa) dan mendorong dari belakang (Tut Wuri Handayani).

Ki Hajar Dewantara juga menggagas pendidikan yang berbasis lokal sosial budaya dan budi pekerti. Dalam gagasannya, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwasanya pendidikan harus sejalan seperti budaya setempat. Konsepsi pendidikan ini sangat relevan digunakan di Indonesia karena banyak sekali suku dan budaya-budaya yang tersebar di seluruh pulau di Indonesia.

Lalu pertanyaannya, mengapa sekarang anak petani tidak ingin menjadi petani? begitupun anak nelayan yang tidak ingin menjadi nelayan?. Ya … karena mereka tidak dididik dengan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara ini. Mereka malah diharuskan untuk pintar Matematika juga Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial (IPAS), yang itupun tidak spesifik membahas tentang bagaimana budaya setempat di maksimalkan.

Sebaliknya, semua anak dan remaja di Indonesia dipukul rata masalah pendidikannya. Ada lagi yang lebih miris, mereka dididik untuk menjadi robot pekerja di tengah marak dan sangat pesatnya curah kapitalis. Kepastian mendapatkan uang yang digadang-gadang akan menyejahterakan mereka, tapi lihatlah betapa mudahnya mereka melupakan budaya warisan nenek moyang mereka sendiri.

Sebuah studi kasus yang saya contoh kan pernah terjadi di kecamatan terdekat di kampung kelahiran saya. Di kecamatan Blanakan, Subang, Jawa Barat. Anak dari seorang nelayan sangat ingin merantau dan memilih untuk tidak melanjutkan pekerjaan ayahnya, yang dia pikir tidak akan menyejahterakan dirinya dan keluarganya. Tidak usah kita bahas panjang mengenai nasib anak itu, tetapi ini tentang bagaimana profesi nenek moyang kita (nenek moyang bangsa Indonesia) yaitu seorang pelaut yang perlahan ditinggalkan oleh cucu, cicit dan keturunannya ini.

Ini juga terjadi di seluruh Indonesia, mengapa ada penumpukan penduduk di satu pulau?. Ya, karena mereka dididik sama, untuk menjadi robot pekerja dan mengikuti curah kapitalis. Mereka tidak dididik untuk memaksimalkan profesi yang ada di daerah mereka. Kembali ke studi kasus tadi, mengapa di desa nelayan pendidikan tidak berlandaskan pada nelayan yang memang sumber mata pencaharian mereka. Kenapa mereka tidak dididik menjadi nelayan yang menciptakan teknologi untuk memperbanyak tangkapan ikan?, Dan mengapa anak petani tidak diajarkan membuat teknologi yang bisa membantu petani menangani terjadinya gagal panen?.

Ya balik lagi … pendidikan kita kan harus bisa menghafal bukan memanfaatkan. P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) juga yang seharusnya membebaskan anak untuk berkreatifitas, malah menjadi ajang bayar, bayar dan bayar. Sebaliknya, anak malah didikte kreatifitas nya oleh gurunya sendiri.

Tidak akan ada habisnya memang, membicarakan soal pendidikan yang harus sekali mengikuti arah jaman di modernisasi ini. Tetapi sayang sekali jika budaya kita tergerus oleh budaya luar karena ulah pendidikan kita sendiri.

14 Suka

35
Bagikan

Artikel Terkait 

1000242381
3
Mahasiswa-Ui-3